Rabu, 09 Juli 2008

Kehadiran Keibuan Maria dalam kehidupan Padre
Pio
Oleh Rm. Gerardo di Flumeri

Pendahuluan.
Suatau penyelidikan yang teliti akan kehidupan dan tulisan Padre Pio, meyakinkan seseorang bahwa dia menerima Bunda Maria, terutama dari 3 sudut yang berbeda, yaitu sebagai murid Yesus yang paling sempiurna, sebagai pengantara segala rahmat dan teristimewa sebagai ibu, ibu Yesus dan ibu kita. Mka saya hanya menulis tentang yang ketiga, juga yang terpenting dan samapai tingkat tertentu, melingkupi kedua yang lainnya. Oleh sebab itu, saya akn menulis Bunda Maria sebagai ibu dan membagi argumennya dalam 2 bagian. Pada bagian pertama, saya akan memperhatikan kasih Bunda Maria kepada putranya, Padre Pio. Dan pada bagian kedua, saya akan mendalami kasih Putra kepada ibunya, yaitu kasih Padre Pio kepada Bunda Maria.
Kasih Keibuan Maria bagi Padre Pio.

Padre Pio sungguh menyakini Maria sebagai seoarang ibu, ibu Yesus dan ibu Rohani kita. Pada Juli 1916, dia menulis kepada Giuseppina Morgera, “Kamu harus ingat bahwa yang kamu miliki si Surga bukan hanya seorang Bapa, namun juga seorang ibu. Ya, putriku yang terkasih, kita tidak boleh melupakan karunia yang diberikan orangtua Surgawi ini bagi kita. Mereka memberikan kepada kita, seotrang Putra dan bersama dengan ini, anugerah berharga yang mereka letakkan pada kepribadian kita secara pasti, dalam keteraturan rahmat, kasih dan kebaikan mereka. Kita akan mendapatkan mereka selalu siap untuk mendengarkan kita, selalu siap membela kita, selalu penuh kasih dalam menerina kita, selalu murah hati dalam membantu kita. Maka, kita harus menyerahkan jiwa kita kepada kasih mjereka. Dan pada kesalahan yang telah kita perbuat kepada mereka, janganlah mengurangi kepercayaan kita akan bantuan dan kerhiman mereka. Dan bilamana kemalangan menyedihkan diri kita, bila rasa tidak tahu terimakasih menteror kita, bila ingatan akan kesalahan menghalangi kita untuk hadir di hadirat Allah, Bapa kita, matilah kita kemudian mencari bantuan pada Maria, ibu kita. Maria, seluruhnya adalah kemanisan, kebaikan, kasih kapada kita, karena dia adalah ibu kita. Dan bersama dengnnya, kita harus naik ke Tahta Allah, dan menggunakan pengaruhnya sebagai ibu. Kita harus teguh dan yakin pada puncak pertempuran, bahwa Allah pasti menyelamatkan kita, putranya yang tak tahu terimakasih dari Maria, hamba-Nya yang pada saat khidmat dalam penerimaannya sebagai Bunda dari Allah yang menjelma menjadi manusia, mangatakan “Ecce Ancilla Domini”(Aku ini Hamba Tuhan).

Bunda yang terkasih ini mengetahui bagimana mendukung permintaan-permintaan kita, membuat doa-doa kita layak dan membuat kita mendapatkan pengalaman bahwa dia adalah Ibu Surgawi yang tidak pernah berkuarng kasihnya. Yang murah hati sama seperti ketika ia berada di samping Yesus di Kalvari, pada saat paling khidmat, ketika Yesus memberikan kaita semua sebuah kehidupan yang baru dengan kasih-Nya.
Pada awal panggilan religiusnya.

Maria adalah ibu. Dan ini adalah gelar yang paling sering dipakai Padre Pio untuk Maria, dalam tulisan-tulisannya. Dalam surat tanggal 1 Mei 1912, ia memanggilnya dengan gelar ini, lebih dari enam kali: “Ibu terkasih”, “Ibu kami”, Ibu Surga yang berbelaskasih”, “Ibu Surgawi yang terberkati”, “Ibu yang malang”.(surat 1).
Ajaran dan ungkapan-ungkapa ini, Padre Pio pelajari di kaki salib, mengikuti teladan St. Yohanes yang dalam Injilnya (Yoh 19:25-27) ayat 3, menggunakan kata ibu sejumlah lima kali, yang menunjukan pada Maria: “Namun berdiri di bawah kaki salib Yesus adalah ibu-Nya dan saudari-Nya, Maria istri Kleopas, dan Maria Magdalena. Saat Yesus melihat ibu-Nya, “Wanita, lihatlah putra-mu” kemudian kepada murid-Nya Ia berkata, “Lihatlah Ibumu!” Dan sejak saat itu si murid membawanya ke rumahnya sendiri.

Seorang ibu mengikuti putranya sepanjang hidupnya dari kelahiran sampai kematiannya. Dan ini Maria lakukan bagi Padre Pio, puteranya yang terpilih. Marilah kita menelusuri sejenak garis utama dari jadwal perjalanan yang mengagumkan ini.
Padre Pio lahir pada tanggal 25 Mei, bulan yang dibakt9ikan bagiMaria. Seluruh hidupnya selalu berlindung di bawah naungan Maria, di Pietrecina, di bawah naugan Bunda maria Liberatrix, kemudian di San Giovanni Rotondo, di bawah naugan Bunda maria dari Rahmat.
Pada tanggal 20 Mei 1912, saat menulis surat kepada Padre Agostino, Padre Pio meyakinkan, “Yesus dan Maria terus bertindak seperti orangtua bagiku.” (surat-surat 1) Jika pada Mei 1912 itu Yesus dan Bunda Maria terus bertindak sebagai orangtuanya, maka kita dapat menanyakan, kapan mereka mulai memperlakukan secara istimewa, biarawan muda dari Pietrecina ini? Jawabanya sederhana, yaitu sejak tahun-tahun pertama hidupnya. Maria adalah titik awal dari panggilan membiara Padre Pio. Padre Agostino dari San Marco di Lamis adalah bapa pengakuan dan pembimbing ronahinya, menjelaskan kepada kita bahwa dalam buku hariannya, “Ekstasi dan penampakan dimulai pada usia lima tahun, saat dia ingin mempersembahakan dirinya kepada Tuhan.” Dan terus berkesinambungan. Ketika ditanya, mengapa dia diam mengenai hal itu selama sekian lama, maka dia menjawab dengan biasa bahwa dia tidak menyatakannya karena bahwa itu semua adalah hal-hal yang wajar terjadi pada semua orang. Faktanya, memang pada suatu hari dia bertanya kepadaku, “Jadi engkau tidak melihat Bunda Maria?” Lalu ketika aku menjawab tidak, dia bereaksi, “Kamu mengatakan begitu, karena kerendahan hati!”.

Maka, sudah sejak umur lima tahun Bunda maria menampakan diri pada Padre Pio dan mengilhami hatinya untuk mempersembahakan diri seutuhnya kepada Tuhan, untuk selama-lamanya. Pemuda saleh itu menyambut undangan tersebut dan mulai matang keinginannya untuk melayani Tuhan “Biara di bawah panji si miskin dari asisi”(surat-surat III) Setiap hari dia pergi ke gereja dan berdoa kepada Bunda Maria Liberatrix, supaya beliau membebaskannya dari ikatan yang mengikatnya dari ikatan yang mengikatnya pada dunia. Kita tidak boleh berpikir bahwa panggilan membiara Francesco tidak menemui kesulitan dan hambatan. Dia memberitahukan sendiri kepada kita dalam kata-kata yang ia tulis demi “Kepatuhan Suci”, Sejak tahun-tahun awalnya, jiwa ini mulai minum sejumlah besar kesiasiaan duniawi. Pada satu sisi panggilannya selalu berkembang menyemangati jiwa ini, dan di sisi lainnya, kenikmatan dunia mulai bertubrukan dengan jalannya waktu, mungkin iya atau mungkin tidak, indera telah mengalahkan roh, dan mencekik panggilan Ilahi” (surat-surat I).

Lebih dramatis lagi ialah gambaran Padre Pio akan pergulatan batinnya yang ia tulis pada bulan November 1922, yang merujuk pada masa kanak-kanaknya. Padre Pio menulis, “Saya merasakan dua kekuatan di dalam diriku, yang bergulat satu sama lain dan mengiris-iris hatiku. Dunia menginginkan diriku baginya sendiri dan Allah memanggilku pada hidup yang baru. Allahku! Siapa yang dapat menggambarkan kemartiran batinlah yang sedang terjadi dalam diriku ini? Hanya ingatan pergulatan batin itulah yang membuat darahku membeku bagai es dalam nadi-nadiku dan dua puluh tahun telah berlalu, sejak saat itu. Saya mendengar suara panggilan untuk mematuhimu, mengeser tulang-tulangku, menghina aku dan memuntir ususku!”(surat-surat III). Dalam pergulatan batin yang hebat ini, dia menemukan bantuan hanya dari orangtua rohaninya, yaitu Yesus dan Bunda Maria. Dia mengakui dalam suratnya di bulan November 1922, “Saat merasakan hal-hal buruk itu, saya segera menyerukan nama tersuci Yesus dan Maria. “Setelah ketenangan kembali pada jiwanya, di bulan Mei 1902, remaja saleh bernama Francesco itu menyampaikan permohonannya kepada para biarawan Fransiskan di Napoli untuk masuk dalam tarekat mereka. Namun, permintaan ini tidak diterima. Maka dia berpaling pada Romo Provincial Kapusin dari Provinsi Religius Angelo (Foggia), meminta untuk diterima sebagai novis di Biara Marcone, Romo Provincial menetapkan tanggal masuk novisiat, 6 Januari 1903.

Remaja yang saleh ini sangat gembira, namun ketika tanggal itu semakin dekat, suatu pertempuran baru mulai melanda jiwanya. Padre Pio menulis, “Jangan dikira, bahwa jiwa ini tidak menderita apa-apa dari dalam, karena kepergiannya dari orang-orang yang dikasihinya, pada siapa ia terikat kuat! Dia merasakan tulang-tulangnya sedang digiling dalam keterasingan yang haurs dia putuskan dan kesakitan ini dia rasakan demikian kuatnya, sehingga membuatnya hamper pingsan. Saat hari kepergiaannya mendekat, penderitaan ini selalu bertambah lagi.”(surat-suratI) Siapa lagi yang dating membentunya. Sekali lagi, yaitu orangtua rohaninya, Yesus dan Maria. Padre Pio menulis, “Malam terakhir bersama dengan keluarganya, Tuhan dating menghiburnya dalam sebuah vision, dia melihat Yesus dan Ibu-Nya dalam seluruh kemulyaaan-Nya memberinya semangat dan meyakinkannya akan kesukaan mereka.”

Sumber : The voice of Padre Pio